Pemerintah Buka Peluang Turunkan Tarif PPN di 2026

Beranda » Pajak » Pemerintah Buka Peluang Turunkan Tarif PPN di 2026

Benardhy Consulting – Kemungkinan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2026 dibuka oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Langkah ini disebut sebagai upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat, meski keputusan akhir masih dalam tahap kajian mendalam.

Dijelaskan bahwa kajian mengenai potensi penurunan tarif PPN akan dilakukan secara hati-hati. Pemerintah disebutkan akan memantau kondisi fiskal hingga akhir tahun 2025 sebelum menetapkan kebijakan lebih lanjut terkait tarif PPN.

Sebagai informasi, pemerintah telah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% sejak 1 April 2022, sesuai dengan amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Kemudian, mulai 1 Januari 2025, tarif PPN kembali meningkat menjadi 12%, namun penerapannya terbatas pada barang dan jasa mewah.

Pandangan Pengamat Pajak

Menurut pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, kebijakan penurunan tarif PPN memang menjadi kewenangan pemerintah, namun perlu dilakukan pertimbangan matang sebelum diterapkan.

Disampaikan bahwa penurunan konsumsi masyarakat tidak sepenuhnya disebabkan oleh tingginya tarif PPN, melainkan oleh terbatasnya kesempatan kerja bagi kelompok muda. Kondisi tersebut dihubungkan dengan tingginya ketidakpastian ekonomi yang membuat pelaku usaha menunda ekspansi bisnis.

Ditegaskan pula bahwa kontribusi penerimaan dari PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terhadap total penerimaan pajak dalam APBN 2026 mencapai sekitar 42,2%, atau hampir setengah dari total penerimaan pajak nasional. Oleh karena itu, apabila tarif PPN diturunkan, potensi kehilangan penerimaan negara dinilai sangat besar.

Target penerimaan pajak dalam APBN 2026 juga disebut terlalu tinggi dan tidak rasional, sehingga penurunan tarif PPN dapat menimbulkan risiko pelebaran defisit anggaran. Selain itu, apabila pengelolaan fiskal tidak dilakukan secara hati-hati, stabilitas makroekonomi dan kepercayaan investor juga berpotensi terganggu.

Fajry menambahkan, pengalaman Vietnam yang sempat menurunkan tarif PPN menjadi contoh menarik. Langkah tersebut disertai dengan efisiensi belanja pemerintah dan pemangkasan birokrasi, sehingga dampaknya terhadap penerimaan negara dapat ditekan.

Namun, kondisi di Indonesia dinilai berbeda karena pemerintahan Prabowo Subianto masih membutuhkan dana besar untuk menjalankan program prioritas, termasuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang memerlukan anggaran sekitar Rp 335 triliun.

Bagikan Artikel ini:
Facebook
Twitter
Telegram
LinkedIn
WhatsApp
Email